Breaking News

Batak dan "Tanah Tuhan"

Punt, Pancur, Fansur, Tanah Tuhan dan Batak

Pelayaran orang Mesir kuno ke berbagai belahan dunia telah dikrtahui brmula sekitar 4000 tahun yang lalu. Setidaknya berbagai literatur dan bukti-bukti sejarah telah mengarah kepada adanya pelayaran kuno yang bahkan telah sampai ke benua Amerika beberapa abad sebelum ditemukan oleh Colombus.

Para arekeolog telah menemukan sisa-sia kapal berusia 4000 tahun, kapal tertua yang menjelajahi lautan dunia, di goa-goa dekat Laut Merah. Keenam goa buatan manusia itu digali di Wadi Gawasis, sekitar 13 mil (21 Kilometer) selatan pelabuhan Safaga. Kapal itu mungkin merupakan salah satu dari beberapa kapal yang digunakan Ratu Mesir Hatshepsut untuk ekspedisi perdagangan ke selatan Laut Merah pada sekitar 1500 SM.

Beberapa benda ditemukan seperti papan-papan dan kayu-kayu dek, dayung, kotak-kotak kargo, jangkar-jangkar batu, pot-pot tembikar, dan gulungan tali yang masih utuh di dalam gua. Kondisi papan kayu dan artefak yang lain tersebut mengindikasikan bahwa orang-orang Mesir tampaknya membawa kapal-kapal itu dalam bentuk kepingan sejauh 90 mil (145 kilometer) dari padang pasir terbuka menuju Laut Merah, di mana kemudian kapal tersebut dirakit menjadi sebuah kapal yang utuh.

Huruf hieroglif pada pot tembikar dari goa tersebut memperlihatkan detail ekspedisi perdagangan ke Punt. Punt atau yang diartikan Tanah Tuhan, merupakan pusat perdagangan yang misterius dari mana orang-orang Mesir memperoleh dupa (kemenyan) dan barang-barang berharga lainnya.

Para akademisi bertahun-tahun memperdebatkan letak Punt serta bagaimana orang Mesir pergi dan pulang dari tempat yang menjadi “dongeng” itu. Inilah yang menjadi masalah? Di manakah Punt itu sebenarnya? Bila kita melihat bahwa tujuan pelayaran tersebut adalah mencari dupa, bukankah dari dulu kala tempat muasal dupa dan kemenyan adalah di tanah Batak. Apakah Punt tersebut adalah Pancur, Pansur atau Fansur atau yang disebut oleh orang Cina dengan istilah P'o-lu atau P'o-lu-shih??? Dari manakah Ptolemy menemukan Barus, Tanah Batak, di abad ke-2 SM, kalau bukan dari tradisi berlayar bangsa Mesir sejak zaman kuno?

Dalam tulisannya La Cola del Dragón, Paul Gallez mengemukakan sebuah perkiraannya yang menjelaskan pelayaran kuno ke tanah yang jauh yang sampai sekarang masih misterius. Sebuah pelayaran yang dikatakan menuju Tanah Punt (Richard Hennig, Terrae Incognitae, 4 vols, Leiden, Brill 1950, in vol. I, pages 5-13).

Inilah sebuah pelayaran yang pernah dikenal dalam sejarah (mungkin saja sebelumnya ada) yang dikirim oleh Dinasti kelima Fir’aun, dalam pemerintahan Sahure sekitar 2550 SM. Kapal-kapalnya dikatakan membawa kembali kemenyan (dupa), myrrh, emas, perak, kayu-kayu berharga (meranti? yang menjadi andalan tanah Batak) dan para budak, dari Punt dan tanah-tanah dan pulau di sekitarnya.Walaupun begitu, tidak semua barang-barang tersebut didapatkan dari Punt, ada beberapa nama yang disebutkan dalam perjalanan tersebut.

Dinasti Fir’aun dari pemerintahan Asa (Isei) mengulangi ekspedisi Sahure, dan pada tahun 2400 SM dia juga mengirimkan armada lautnya ke Punt. Salah satu putri kaisar dinasti yang keenam tersebut dimasukkan ke peti jenazah untuk dibawa ke Tanah Kematian, bibirnya diwarnai dengan logam keputihan, sebuah benda yang benar-benar belum dikenal di Mesir dan negara-negara tetangganya. Batu yang berada di pusaran Knemhopet, seorang nakhoda dari pulau Elephantine yang telah melakukan sebelas kali perjalanan ke Punt, mempunyai penanggalan yang sama dengan periode perlayaran tersebut (Paul Herrman; La aventura de los primeros descubrimientos, Labor Encyclopaedia, 1967).

Selama pemerintahan Dinasti yang kesembilan, Fir’aun Seanjkare mengirimkan beberapa ekspedisi ke tanah misterius tersebut dengan keberhasilan yang sama. Perjalanan yang paling berhasil dan paling terkenal adalah yang diorganisir oleh Ratu Queen Hatshepsut (kadang-kadang dipanggil Hacheput, Hatcheposut, Huschpeswa, Hatashopsitu, Hachepsowe, Hatasuput and Hatscheposut, 1501-1482 SM) yang diabadikan dalam tulisan di kuil Deir-el-Bahari. Kuil ini dibangun atas prakarsa Ratu di Thebes untuk mengenang jasa-jasa Amen-Ra.

Kekuatan utama dari ekspedisi Ratu terbuat dari lima kapal raksasa untuk ukuran saat itu dengan tiga puluh pelaut per kapalnya. Mereka berlayar menuju ke selatan Laut Merah dan menempuh waktu selama tiga tahun.

Salah satu inskripsi di kuil Deir-el-Bahari mengemukakan: “Penduduk di sana bertanya: Bagaimana kalian bisa sampai ke sini yang belum diketahui oleh manusia? Bagaimana kalian terbang ke sini melalui langit atau apakah kalian sampai ke sini melalui Samudera Luas dari dari arah Tanah Tuhan?” (Richard Hennig: Terrae Incognitae, 4 vols, Leiden, Brill 1950, I, 5, Ophir).

Diyakini bahwa penduduk yang bertanya tersebut adalah penduduk Benua Amerika. Sementara Samudera Luas yang dimaksud adalah Samudera Pasifik dan tanah yang dilalui mereka atau Tanah Tuhan yang dimaksud adalah sebuah daerah sebelum Samudera Pasifik yang menjadi pusat perdagangan saat itu yakni Barus.

Untuk sekedar diketahui, Benua Amerika khususnya peradaban Maya telah melakukan kontak hubungan sejak 4000 tahun yang lalu dengan peradaban Batak yang ditunjukkan dengan adanya transfer teknologi pembuatan kertas dari kulit kayu dari Bangsa Batak ke Bangsa Maya.

Dari legenda kehidupan Ramses IV dari Harris Papyrus di British Library, Ramses III diketahui mengirimkan ekspedisi terakhirnya dalam jumlah besar sekitar 10.000 orang ke Punt sekitar 1180 SM. Sementara itu ekspedisi yang paling terkenal ke Barus terjadi pada sekitar abad ke-2 M oleh Ptolemy.

Para ahli dari Mesir tidak pernah sepakat mengenai makna dari Tanah Punt tersebut. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah Eritrea, Somalia, Zimbabwe, Hadramaut atau India. Tapi melihat dari lamanya berlayar dan muatan-muatan yang mereka bawa yang dimaksud Punt tersebut kemungkinan besar adalah Barus yang juga dikenal dengan nama Pancur yang merupakan penghasil satu-satunya kemenyan dan emas sejak zaman kuno. Kemungkinan besar pula, dari Barus mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur melewati Samudera Pasifik sampai ke Benua Amerika yang dihuni oleh Bangsa Maya.

Orang Libya-Mesir Di Amerika Kuno

Pelayaran-pelayaran Dinasti tersebut di atas juga menjadi sangat menarik dengan keberadaan beberapa manuskrip di Benua Amerika, yang menunjukkan adanya pelayaran kuno yang sangat berhasil dari Mesir (Afrika) ke Amerika melalui Nusantara (Barus atau Punt) melewati Samudera India dan Pasifik.

Paul Gallez, menjelaskannya dalam Predescubrimientos de América (Instituto Patagónico, Bahía Blanca 2001, p 52 onwards), yang mengatakan bahwa pada tahun 1976, Barry Fell (América A.C. Los primeros colonizadores del Nuevo Mundo. México, Diana 1983) telah memberikan sebuah terjemahan sebuah inskripsi yang terdiri dari tiga bahasa yang ditemukan di perkuburan di Davenport, Iowa. Inskripsi tersebut terdiri dari bahasa Mesir, Funisia dan Libya.

Batu tersebut bertanggal 800 SM, dalam pemerintahan Dinasti Mesir yang ke-21 yang berpusat di Libya. Kalimat-kalimatnya menjelaskan masalah-masalah astronomi, agama dan tradisi-tradisi dengan huruf-huruf Mesir kuno. Menurut para ahli, mumi-mumi Mesir yang diawetkan dalam masa yang sama menggunakan tembakau dan kokain, dua produk khas dari Amerika. Pemumian di Mesir menggunakan berbagai bahan yang berbeda untuk masa yang berbeda, diyakini kemenyan dan kafur dari Barus juga digunakan sebagai bahan dasar untuk pemumian.

Orang-orang India Micmac dari Arcadia, Kanada, dikatakan dapat membaca tulisan-tulisan hieroglif Mesir kuno yang menunjukkan adanya hubungan antara Mesir dan Amerika zaman kuno. Misteri ini semakin menarik saat diketahui bahwa orang-orang Micmac percaya bahwa mereka menggunakan tulisan-tulisan gambar Mesir dan mereka mempelajarinya dari orang-orang Mesir. Bahkan orang-orang India Algonquin, diketahui, setiap tahun mengadakan upacara untuk menandakan perayaan kedatangan nenek moyang mereka ke Amerika dari laut seberang, namun mereka tidak tahu dari mana asal muasalnya.

Dalam bab yang lain, Fell menunjukkan sebuah inskripsi yang ditemukan di Texas, ditulis dengan bahasa Libya dengan menggunakan huruf Olgam, yang menceritakan kedatangan para pelaut dari sebuah kapal yang dimiliki oleh Raja Shishong, nama dari beberapa raja yang memerintah antara tahun 1000 sampai dengan 800 SM.

Barry Fell yakin bahwa koordinat yang ditemukan di batu prasasti yang ditemukan di Tinguiririca (34º 45´S) merupakan klaim teritorial Mesir. Prasasti tersebut ditemukan oleh Karl Stolp di sebuah gua di Andes pada tahun 1885 dan dipublikasikan pada tahun 1877 di jurnal Sociedad Científica de Chile.

Di tahun yang sama, pada bulan Oktober 1974, Barry Fell menelitik artikel Karl Stolp dengan menjelaskan kembali batu prasasti Tinguririca dan menemukan bahwa tulisan batu tersebut juga menunjukkan bahwa ekspedisi yang sama juga telah singgah di New Guinea. Fell menerjemahkannya sebagai berikut:

“Bagian selatan dari pantai dicapai oleh Mawi. Wilayah ini terdiri dari wilayah tanah pegunungan di bagian selatan, klaim kapten tersebut diwujudkan dalam bentuk proklamasi tertulis atas kepemilikan atas tanah. Armada kapal mencapai batas-batas selatan. Atas nama Raja Mesir, permaisuri dan putera mahkota, nakhoda kapal mengklaim tanah yang memanjang sekitar 4000 mil yang terdiri dari bebatuan, tanah tandus dan sampai ke atas.

Tanggal 5 Agustus, Tahun Keenam Pemerintahan Raja.”

Di saat itu, Fir’aun yang memerintah adalah Ptolemy III Evergetes, nama permaisurinya dalah Berenice dan putera mahkota adalah Fir’aun masa depan yakni Ptolemy IV Philopathor. Bahasanya menggunakan bahwa Libya, yang berhubungan dengan bahasa Mesir dan Maori Kuno; Tulisan Libya telah digunakan selama berabad-abad di Selandia Baru sampai abad ke-15 Masehi. Kemampuan Fell menerjemahkan bahasa Libya dan Maori telah membuat para ahli serius dengan temuannya ini.

Torquetum: Alat Navigasi Kuno

Torquetum adalah instrumen pintar yang dapat digunakan untuk menghitung koordinat tanpa penghitungan rumus-rumus lainnya. Alat ini disebut dengan nama “tanawa” sebelum masehi dan kemudian disebut dengan torquetum pada tahun 1492. Alat ini dapat mengukur jarak bulan dan benda-benda luar angkasa lainnya. Dengan bantuan tabel-tabel astronomi juga dapat mengukur secara kasar koordinat longitudinal.

Alat ini ditemukan di berbagai tempat di dunia. Salah satunya adalah di pantai McCluer dekat Sosora, Irian Jaya di sebuah gua yang disebut Gua Para Nakhoda. Sebuah prasasti kuno telah ditemukan di gua tersebut oleh Barry Fell pada tahun 1970. Dijelaskan bahwa pada tahun 232 SM, sebuah armada Mesir, yang terdiri dari enam kapal dengan komando Rata dan Mawi, seorang teman dari Eratosthenes, berlayar dari Laut Merah dan sampai ke pantai barat Amerika. Informasi ini disampaikan oleh Rick Sanders “Ancient navigators could have measured the longitude”, Oktober 2001, diterbitkan di 21st. Century Science & Technology Magazine. Sebuah prasasti yang berhubungan dengan yang ditemukan di Irian Jaya tersebut juga ditemukan di Tiguiririca (Cili), 34º 45´ S.

Kesimpulan

Argumen-argumen mengenai eksistensi Tanah Batak sebagai Punt atau Tanah Tuhan adalah sebagai berikut:

1. Adanya Barus atau Pancur sebagai Bandar pelabuhan kuno di tanah Batak. Barus telah diakui pernah disinggahi oleh Ptolemy di abad ke-2 M dan itu berdasarkan kepada peta yang dibuat sebelum zaman tersebut.

2. Kemenyan dan dupa, sejak zaman dahulu kala hanya ditemukan di Tanah Batak yang didapat melalui Barus. Mungkin saja kemenyan dapat ditemukan di belahan bumi lainnya, namun fakta sejarah mengatakan transaksi kemenyan yang paling lama ditemukan adalah di Barus. Dan kemenyan dari daerah ini merupakan mutu yang terbaik.

3. Di Barus juga ditransaksikan berbagai logam mulia dan didukung oleh adanya tambang-tambang emas kuno di banyak tempat di Tanah Batak yang tentunya mengundang berbagai bangsa untuk datang berdagang alias membelinya.

4. Terdapat banyak literatur yang mengarah kepada dupa dan kemenyan yang di dapat dari Barus yang diperkuat oleh ketertarikan Bangsa Arab, sebagai bangsa yang paling mengenal peradaban Mesir, Romawi dan Yunani Kuno, untuk mendatangi Fansur dengan sebutan berbagai keistimewaannya.

5. Gambar Naga Padoha diyakini mempunyai kesamaan dengan salah satu gambar dalam karya Ptolemy yang menguatkan eksistensi Barus dan Tanah Batak sebagai Bangsa yang beradab sejak dahulu kala.

6. Adanya hubungan budaya antara Batak dan Maya di benua Amerika yang diperkuat dengan kesamaan budaya teknologi kertas khususnya Maya Yucatan. Yang menunjukkan adanya pelayaran Batak Kuno menuju Benua Amerika melalui Samudera Pasifik

7. Barus dan Tanah Batak merupakan tempat transit pelayaran kuno dari berbagai bangsa kuno, khususnya India dan Cina yang tidak tertutup kemungkinan dari Mesir dalam perjalanan mereka ke timur melewati Samudera Pasifik.

8. Terdapat hubungan budaya yang sangat dekat antara Bangsa Maori di Selandia Baru dengan Mesir dari budaya Libya kuno. Tulisan Libya Kuno pernah dipakai berabad-abad di Selandai baru sampai abad ke-15 M. Kemungkinan besar Bangsa Libya kuno telah lalu lalang dari Afrika menuju Selandia Baru dan titik transit kuno yang paling logis adalah Barus.

9. Tanda bukti pelayaran Kuno Mesir-Libya ke berbagai negara khususnya Amerika telah terbukti dengan temuan prasasti di Irian Jaya dan Cili. Titik-titik ini merupakan jalaur-jalur pelayaran kuno dari Afrika Utara ke Amerika melalui Nusantara selain pelayaran kuno jalur Cina yang juga banyak mengambil jalur di Nusantara Indonesia. Pelabuhan tertua di Nusantara Indonesia adalah Barus.

10. Mengapa disebut Tanah Tuhan??? Pertama karena agama-agama pagan kuno banyak menggunakan kemenyan dalam ‘berkomunikasi’ dengan tuhan-tuhan mereka, dan kemenyan hanya tumbuh di Tanah Batak. Kedua, Produk lain seperti benzoin, kapur dan lain sebagainya yang bermanfaat untuk pengobatan dan pemumian di dapat di Tanah Batak. Apakah ini dapat diperkuat bahwa hanya di Tanah Bataklah sebuah legenda manusia pertama diciptakan langsung oleh Mulajadi Nabolon, tentunya, selain dari informasi Kitab Suci, teori evolusi Darwin dan kepercayaan Sinto.

11. Di berbagai tempat sebelum masuknya Belanda, di tanah Batak juga mengenal tradisi pemumian mayat yang menandakan hubungan kultur yang sangat erat antara Batak dan Mesir kuno, sehingga misteri “Tanah Punt” semakin mudah untuk dipahami.

Mungkin cerita di bawah ini sangat mengada-ngada tapi fakta-fakta di atas sepertinya membuat cerita ini semakin menarik. Dulu, di Bonapasogit, sesama anak-anak sering saling berbagi cerita satu sama lain. Cerita-cerita yang mereka dapat dari orang tua masing-masing. Salah satu cerita tersebut adalah mengenai kedatangan pelaut Mesir ke Barus. Karena sesuatu hal, mereka tidak dapat kembali ke negerinya dan menetap di huta-huta dekat pantai. Tiga orang di antaranya berinisiatif untuk mencari tempat yang lebih nyaman.

Dari pantai mereka berjalan ke desa-desa di perbukitan dan terus menanjak ke arah timur. Setelah tiba di pegunungan sekitar Danau Toba, mereka melihat pemandangan yang sangat indah dan memutuskan untuk menetap di daerah tersebut.

Mereka mencari tempat yang sesuai yang nyaman untuk dihuni. Mereka kemudian memilih satu wilayah yang kalau dari atas dapat melihat danau mengelilingi tempat tersebut. Setelah mereka menetap di sana, barulah orang-orang Batak mengetahui bahwa tanah tersebut telah dihuni oleh tiga orang Mesir.

Ketiga Mesir tersebut akhirnya menikah dengan orang-orang yang lalu lalang dan tempat tersebut akhirnya menjadi ramai. Daerah yang ternyata adalah sebuah pulau di Danau Toba tersebut akhirnya disebut dengan Sam-Mesir. Sam adalah angka tiga yang digunakan pada zaman kuno yang berari tiga. Dan Mesir adalah nama untuk orang Mesir. Sam-Mesir yang berubah menjadi Sam-Sir berarti tanah yang dibuka dan dihuni pertama sekali oleh tiga orang Mesir. Nama Sam-sir akhirnya mengalami perubahan dan akhirnya menjadi Sam-o-sir. Huruf o yang ditengah sepertinya berguna sebagai partikel sambung seperti kata Philosophy yang berasal dari Phil-o-sophy.

Nama Samosir sendiri sekarang ini merupakan nama sebuah pulau di Danau Toba yang menjadi tujuan wisata di Parapat. Kalau dibahas, memang tidak ada arti dari Samosir dari bahasa Batak. Sama seperti beberapa nama yang juga tidak mempunyai arti seperti Toba, Dairi, Balige, dan lain sebagainya. Nama Samosir yang terkenal menjadi aneh, karena biasanya semua nama tempat di Tanah Batak biasanya mempunyai arti yang terbuat dari bahasa Batak seperti Pancur, Fansur, Dolok, Toruan, Lintong Ni Huta, Sosor Gadong, Hauagong dan lain sebagainya. Benar tidaknya cerita tersebut, tidak ada yang tahu.

By. Julkifli Marbun